Buah Manis Perjuangan Masyarakat Rumpun Asa Melawan PT Kencana Wilsa


Aksel anak kedua dari Pak Korneles Detang sedang berada di Munan (Kebun) Durian

31 Desember 2023 Korneles Detang beranjak dari tempat duduknya tatkala kapal dari Samarinda berlabuh di pelabuhan melak pada pukul 4.37 dinihari. Menyambut kedatangan teman-teman sperjuangan untuk memenuhi undangan perayaan kecil dalam pergantian tahun sekaligus do’a bersama atas  berakhirnya izin usaha pertambangan PT Kencana Wilsa (PT KW)  yang selama ini menjadi keresahan masyarakat yang tergabung dalam Forum Sempekat Peduli Gunung Layung (FSPGL).

Perayaan sederhana sudah di agendakan dari jauh hari sejak adanya kabar musim buah di akhir tahun. Masyarakat adat Rumpun Asa sangat bersyukur sepanjang hidup dapat merasakan hasil perjuangan mereka dalam mempertahankan lahan dari perusahaan tambang. Industri ekstraktif batu bara yang mengancam keberadaan sumber mata air, ladang, dan lembo warga serta hutan adat itu tidak lagi berada di kampung mereka. Tentu menarik untuk menyimak bagaimana kisah perjuangan mempertahankan ekologi penopang sumber mata pencaharian asli di wilayah masyarakat Adat .

Kronologi Kehadiran PT Wilsa Kencana dan Perlawanan Masyarakat Rumpun Asa

Pada hakikatnya, sejak awal masyarakat Rumpun Asa menolak kehadiran PT KW untuk menambang di wilayah mereka. 2010,  ada enam kampung di Kutai Barat (Kubar) yang diizinkan oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kubar untuk ditambang perusahaan batubara tersebut. Berdasarkan dokumen izin operasi yang terbit pada 21 Desember 2010 dengan nomor 545/K/1001/2010, luas konsesi perusahaan sebesar 5.010 hektare. Wilayah operasi perusahaan berada di lima desa di Kecamatan Barong Tongkok dan satu kampung di Kecamatan Melak, yaitu Ongko Asa, Muara Asa, Geleo Asa, Pepas Asa, Juaq asa, dan Muara Benangaq, yang semuanya terhubung dalam kawasan Gunung Layung. 

Perusahaan ini membujuk warga di keenam kampung tersebut, salah satunya Ongko Asa, yang  90% wilayahnya dikapling, termasuk hutan adat Hemaq Bojoq yang ada didalamnya. Hasilnya, masyarakat menolak. Menurut masyarakat, dengan melihat wilayah yang akan ditambang merupakan jantung Kabupaten Kubar. Lokasinya hanya 12 km dari Pusat Pemerintahan Kubar. Di Kampung Ongko Asa sendiri, dihuni 101 kepala keluarga dengan perkiraan 400 lebih jiwa. Hampir semua warga merupakan suku Dayak Tunjung. Pada peta IUP yang diterbitkan Pemkab Kubar, terlihat ke enam desa tersebut masuk area pertambangan. Artinya, perusahaan bebas menambang bahkan di permukiman warga.

Selain itu, hutan adat milik Kampung Ongko Asa akan dibabat duluan. Hutan adat ini merupakan hutan utama yang dijaga ratusan tahun oleh warga. Luas areal pertambangan dalam hutan secara keseluruhan terdapat tanaman-tanaman berumur panjang dan hasil lain di bidang perkebunan. Terlebih, aktivitas pengerukan batu bara disebut mengancam dua sungai yang menjadi sumber air warga. Jika sungai itu lenyap, warga akan kehilangan mata pencaharian. Dari kedua sungai itulah, ladang padi, tanaman buah, dan kebun karet, menggantungkan sumber airnya. Sehingga sudah pasti akan mengganggu penghasilan dan pelestarian kekayaan alam masyarakat.

Saat itu, para ketua adat melakukan ritual dan memberi sanksi pada perusahaan, lantaran telah memasuki kawasan hutan adat tanpa izin pada proses peninjauan yang dilakukan oleh perusahaan. Perusahaan setuju untuk memenuhi syarat-syarat yang diminta serta membayar denda. Yang tak masyarakat ketahui, setelah ritual adat selesai, perusahaan melaporkan kejadian itu pada Pemkab Kubar dan mengakui telah terjadi kesepakatan dengan warga melalui sosialisasi.

Kurun waktu delapan tahun, masyarakat menyangka perusahaan tak lagi tertarik untuk menambang di sana. Namun, medio 2018, perusahaan kembali datang dengan menggandeng tim Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kubar, mereka memetakan area di enam kampung tersebut. Kampung Ongko Asa ditarget sebagai lokasi awal beroperasinya perusahaan. PT KW sudah membangun jalan angkut batu bara atau hauling di sana. Sontak hal tersebut menimbulkan perlawanan dari warga.

Warga di empat desa yang memiliki kesamaan asal usul dan nenek moyang dalam persaudaraan suku Dayak Rumpun Asa – yang mayoritas adalah masyarakat Dayak Tunjung- Menghimpunkan diri mereka dalam Forum Sempekat Peduli Gunung Layung (FSPGL) sebagai wadah perjuangan. Keempat desa itu adalah Kampung, Pepas Asa, Geleo Asa, Geleo Baru, termasuk Ongko Asa.

Selanjutnya, warga Rumpun Asa melakukan perjuangan panjang melalui sejumlah strategi. Di antaranya mengadakan konferensi pers, kampanye di media sosial, dan pelaporan ke sejumlah lembaga pemerintah termasuk penegak hukum. FSPGL menuntut supaya pembangunan jalan angkut pertambangan sepanjang 7,32 km dan terminal khusus seluas 4,1 hektare dihentikan.

Pada 12 Juli 2018 warga Ongko Asa menyatakan sikap penolakan terhadap PT.KW yang tertuang dalam surat dengan nomor : 01.PWK-OngkoAsa/IV/2018. Dalam rilisnya, mereka menyatakan bahwa  penolakan ini dilakukan dengan tujuan untuk menghindari masalah lingkungan yang akan ditimbulkan dari aktivitas pertambangan batu bara.

Penolakan itu mendapat respon pemerintah provinsi Kalimantan Timur. 20 Agustus 2018, warga diundang untuk berdialog dengan pemerintah Provinsi Kaltim diwakili oleh Sekretaris Provinsi (Sekprov). Warga meminta wilayah kampung dikeluarkan dari izin usaha pertambangan.

Tim DLH Kubar melakukan sidak di lokasi izin tambang pasca pertemuan dengan Pemerintah Provinsi Kaltim tersebut, kemudian perusahaan terbukti telah beroperasi walau tidak mengantongi izin Lingkungan. dan DLH Kubar melalui surat Nomor 660/229b/DLH/PPKLH-I/IX/2018 tanggal 21 Agustus 2018 meminta pimpinan PT KW Perihal  menghentikan kegiatan tambang.

Kendati telah keluar surat perihal penghentian kegiatan tambang tersebut, warga  tetap menuntut kepastian Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur mencabut IUP Batu Bara PT KW. Tuntutan itu kembali disampaikan Warga dalam aksi unjuk rasa di Kantor DLH Kabupaten Kubar, Senin 24 September 2018.

Warga juga telah melaporkan adanya kegiatan ilegal mining yang dilakukan PT KW kepada Pihak Polres Kubar, namun  belum ada aksi penegakan hukum dari kepolisian. Keberatan dan penolakan warga ongko Asa sangat beralasan karena sejak awal tidak pernah dimintai persetujuan jika wilayah Kampung Ongko Asa boleh atau tidak ditambang. Atas terbitnya SK IUP PT. KW yang masih mencantumkan nama Kampung Ongko Asa, maka sangat beralasan agar aktivitas tambang dihentikan sampai nama Kampung Ongko Asa benar-benar tidak ada dalam SK IUP -tersebut.

Tahun berikutnya, FSPGL kembali melakukan aksi penolakan dengan demo damai di kantor DLH Kubar pada 14 Agustus 2020. Menanggapi itu, DLH Kubar membentuk tim terpadu. Kemudian mengecek ke lokasi yang diduga bermasalah itu. Tim terpadu itu, yakni DLH Kubar, Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP), Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman, dan Pertanahan (DPKPP), serta Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).

Tim terpadu bentukan Pemkab Kubar itu melakukan kunjungan ke lapangan di area konsesi tambang pada 21 Agustus. Kemudian tim melihat secara langsung operasional PT KW pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP). Hasilnya, DLH Kubar mengatakan, kegiatan yang dilakukan PT KW tidak menyalahi izin. Hal tersebut berdasar analisis dampak lingkungan dan kajian-kajian teknis DLH Kubar sudah dianggap layak. Sebab, PT KW baru membuka jalan dan belum melakukan penambangan. Pihak DLH juga membela perusahaan dengan mengatakan bahwa perusahaan juga melakukan pencegahan dengan membangun kolam resapan, sehingga air bekas galian tidak mencemari atau langsung masuk lokasi masyarakat.

Pernyataan dari DLH Kubar tentu dipatahkan dengan fakta yang terjadi di lapangan, 2021, melalui media sosial yang digunakan untuk berkampanye menyelamatkan gunung layung, warga membagikan dokumentasi-dokumentasi yang menunjukkan bahwa ketakutan dan kekhawatiran mereka akibat aktivitas pertambangan yang akan mencemari sungai, terbukti benar. Sungai Ngahan yang terletak di Muara Asa, menjadi keruh akibat endapan sedimen lumpur dan logam berat akibat akitvitas pertambangan dari PT KW.

Kemarahan warga memuncak setelah menerima informasi tanggal 12 Juli 2022, melalui petinggi kampung, PT.KW mendapatkan surat rekomendasi dengan No. 540/258/Rekom.Pem.OA/VII/2022, yang berbunyi memberikan Rekomendasi kepada PT KW untuk melakukan aktifitas pertambangan didalam wilayah Kampung Ongko Asa. Kebijakan yang dikeluarkan oleh petinggi kampung ini tentunya kebijakan yang diambil secara sepihak tanpa melibatkan seluruh warga kampung Ongko Asa. Sebagian warga yang setuju dengan kehadiran PT KW meyakini bahwa perusahaan itu akan memberikan dampak kemajuan dan peningkatan nilai ekonomi masyarakat setempat.

Kamis, 14 Juli 2022 warga Kampung Ongko Asa yang tak menerima adanya rekomendasi tersebut menggelar “Berinuq” kampung, dihadiri oleh 33 orang. Hadir pula Petinggi kampung Ongko Asa. Tujuan rapat tersebut adalah menuntut Petinggi, Ketua BPK dan Kepala Adat segera mencabut Surat Rekomendasi No.540/298/Rekom.Pem.DA/VII/2022 kepada PT. KW.

Sehari setelah berinuq, pada hari Jumat 15 Juli 2022, Petinggi Kampung Ongko Asa bersama dua unsur pimpinan Lembaga kampung beserta staff kampung menggelar rapat di kantor Kampung Ongko Asa. Hasilnya pemerintah kampung mencabut rekomendasi dukungan kepada PT. KW untuk melakukan penambangan di wilayah Ongko Asa. Kesepakatan itu tertuang dalam surat dengan nomor: 229/PEM.OA/BA/VII/2022. Selain itu, tiga unsur pimpinan lembaga kampung ini juga menyetujui untuk melakukan musyawarah bersama warga, menyelesaikan tapal batas antar kampung dan mempertegas sikap tidak menyerahkan Kampung Ongko Asa untuk ditambang.

Perlu dipertegas kembali, dasar penolakan masyarakat Rumpun Asa terhadap kegiatan aktivitas pertambangan, antara lain. Pertama; Pertambangan dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan hutan yang berdampak pada hasil perkebunan sebagai sumber kehidupan dan sumber air bersih masyarakat setemspat dikemudian hari.

Kedua; Pertambangan telah mengganggu tatanan adat istiadat masyarakat Rumpun Asa. Ketiga; Pertambangan merupakan sumber konflik. Keempat; Pertambangan menimbulkan pelanggaran terhadap hak asasi masyarakat Rumpun Asa atas lingkungan yang bersih, sehat, dan berkelanjutan. Selain itu, mereka seharusnya berhak untuk terlibat dalam penyusunan RTRW untuk meniadakan wilayah pertambangan di ruang hidup mereka serta berhak mengintervensi penyusunan dokumen Amdal perusahaan.

Kelima; Perusahaan telah melakukan penipuan terhadap masyarakat, dan pertambangan hanya menguntungkan oknum-oknum tertentu. Keenam; Tingkat kesejahteraan masyarakat setempat lebih baik secara geo-ekonomi dengan hasil alam (padi, karet, sayur, buah-buahan) ketimbang adanya pertambangan.

Ketujuh; Dugaan pengabaian Pemerintah sebelum mengeluarkan Izin Pertambangan tanpa prinsip kehati-hatian sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Yaitu tidak melakukan kajian terhadap kajian tata ruang wilayah. PT KW melanggar Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kubar 2011–2031 dan RTRW Kaltim 2016–2030. Kedua RTRW itu menetapkan bahwa kawasan yang akan ditambang PT KW merupakan kawasan pangan dan hortikultura.

Kedelapan; Dugaan tindak pidana melawan hukum yang dilakukan oleh PT KW. Operasi perusahaan diduga tidak dilengkapi Amdal yang sah. Amdal perusahaan, terbit pada 2010, telah kedaluwarsa karena perusahaan baru beroperasi delapan tahun kemudian. Tanpa dilengkapi Amdal yang sah, PT KW memenuhi unsur pidana lingkungan sesuai Undang-Undang 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Musim Buah Setelah Kepergian PT Wilsa Kencana

Korneles Detang merupakan masyarakat di Rumpun Asa dan bagian dari warga yang berjuang melawan PT KW. Ia kini sangat puas mengetahui izin operasi perusahaan tersebut telah berhenti pada 21 Desember 2023. Kini musim buah berlangsung, mereka biasa menyebutnya dengan istilah musim buah raya. Artinya semua pohon yang berbuah.

Korneles bersama warga lainnya menikmati buah yang di jaga selama ini dari perusak lingkungan, seraya menatap lekat buah-buahan yang terhidang di meja serta teras rumahnya. Korneles juga tak segan menawarkan hasil panennya kepada siapapun yang bertamu ke rumahnya. 

Biasanya terhitung sejak bulan November hingga Maret mendatang. Tidak ada yang sia-sia mempertahankan ruang hidup dari alam yang telah menyediakan buah-buahan yang berlimpah. Masyarakat Rumpun Asa mengetahui bahwa pohon buah durian, cempedak, asam, rambutan dan berbagai macam buah lainnya itu sudah ada sejak zaman dahulu.  Diperkirakan sekitar 200an tahun yang lalu, pohon durian itu sudah kokoh berdiri, saat ini juga menjadi ekonomi berkelanjutan yang diwariskan secara turun temurun oleh para leluhur kepada anak cucu masyarakat yang hidup di kaki gunung layung.

Ketika musim buah raya tiba, keluarga di dalam satu rumpun diberikan hak secara bergantian menjaga Lembo. Lembo berasal dari bahasa Kutai yang berarti suatu hamparan kebun ada durian, cempedak, asamnya. Sedangkan masyarakat adat Dayak menyebut kebun buah itu dengan istilah Munan.

Ada tradisi yang masih dipertahankan oleh mereka ketika musim buah durian tiba, mereka memberikan hak setara bagi lahan bersama yang dimiliki warga. Artinya pohon-pohon yang berbuah tidak dimiliki oleh seseorang saja tapi menjadi milik bersama.

Misalnya malam ini keluarga Korneles, maka malam besok keluarga lainnya. Sehingga buah durian yang jatuh terbagi rata dan dapat dinikmati oleh seluruh warga setempat. Apabila banyak yang jatuh saat malam itu, itulah rejeki yang menjaga saat itu.

Selain itu, menunggu atau menjaga buah durian yang jatuh merupakan hal yang dirindukan dan memiliki seni tersendiri. Bukan hanya mendapatkan uang dari menjual durian, tapi ada satu seni yang mungkin sulit di tuliskan melalui kata-kata oleh mereka.

Korneles menatap pepohonan di depan rumahnya, yang mengantarkannya pada ingatan masa lalu. Kala melakukan perlawanan terhadap PT KW. Kini setiap hari warga semakin kompak, memegang teguh tujuan awal dari perjuangan FSPGL.

Jaga hutan tanah dan kebun yang ada dalam istilah mereka “Jagaq Talutn Tanaaq Taay” jargon yang populer bagi mereka. Menjaga di sini, maksudnya semua pihak juga turut menjaganya. Menjaga kelestariannya, jika ada lahan kosong maka akan ditanami dan di perluas buah-buah yang ada.

Perjuangan akan terus berlanjut untuk meraih kemenangan-kemenangan kecil. Mereka terus meminta pertanggungjawaban terhadap lubang-lubang tambang yang ada di gunung layung daerah Muara Asa.  Bagaimanapun masyarakat Rumpun Asa tidak ingin melepaskan lahan yang sudah di wariskan dari leluhur hingga cucu dan anak mereka saat ini.

Masyarakat Rumpun Asa berkeyakinan jika lahan sudah dibersihkan, di tanam, lalu dijual ke tambang. Maka sekali dapat uang, lahan akan hilang. Dengan saling menguatkan dan terus membangun kesadaran bahwa ruang hidup mereka harus dipertahankan.

Anak cucu tidak sebanding dengan uang perusahaan. Bagi mereka jika hanya uang akan cepat habisnya dan memberikan penyakit bagi orang kampung. Dimana semua sawah akan kena limbah dari tambang batu bara.

Warga Rumpun Asa akan terus menolak adanya investasi masuk ke kampung mereka. Pohon buah durian dan buah-buah lainnya merupakan investasi tersebesar yang mereka miliki, itu semua lebih dari cukup.

Mereka juga menginginkan lahan Gunung Layung tetap difungsikan untuk pertanian dan perkebunan. Agar tidak ada tatanan sosial dan persatuan keluarga suku di Gunung Layung yang menjadi rusak karena ada kepentingan tambang di masa yang akan datang.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *